Sabtu, 22 April 2017

Makalah Analgetik

BAB I
PENDAHULUAN



A.      Latar belakang
Sebelum memulai pelayanan di masyakarat seorang tenaga kesehatan harus mengetahui dan memahami mengenai obat-obatan. Manusia adalah salah satu sasaran praktik dimana manusia tersebut membutuhkan pelayanan dari seorang tenaga kesehatan secara maksimal, oleh karena itu seorang bidan juga dituntut untuk lebih memahami kebutuhan akan obat-obatan bagi manusia yang membutuhkan demi memperbaiki status kesehatannya.

B.       Rumusan Masalah
1.    Apa itu obat analgetik dan antipiretik
2.    Apa itu golongan analgetik NSAID dan AID
3.    Apa efek samping penggunaan analgetik
4.    Apa saja dampak penggunaan analgetik pada kehamilan
5.    Studi kasus penggunaan analgetik dan antipiretik pada anak dan ibu hamil

C.      Tujuan
1.    Memahami dengan baik apa itu obat analgetik dan antipiretik
2.    Dapat mengetahui golongan dari analgetik NSAID dan AID
3.    Mengetahui efek samping dari analgetik
4.    Mengetahui dampak penggunaan analgetik pada kehamilan
5.    Mengetahui studi kasus penggunaan analgetik dan antipiretik pada anak dan ibu hamil













BAB II
PEMBAHASAN


A.       PENGERTIAN ANALGETIK DAN ANTIPIRETIK
1.    PENGERTIAN ANALGETIK
Analgetik adalah obat atau senyawa yang dipergunakan untuk mengurangi rasa sakit atau
nyeri tanpa menghilangkan kesadaran. Kesadaran akan perasaan sakit terdiri dari dua proses,
yaitu :
a.         Penerimaan rangsangan sakit di bagian otak besar dan reaksi-reaksi emosional dan individu terhadap rangsang.
b.         Obat penghalang nyeri (analgetik) mempengaruhi proses pertama dengan mempertinggi ambang kesadaran akan perasaan sakit, sedangkan narkotik menekan reaksi-reaksi psychis yang diakibatkan oleh rangsangan sakit.
Rasa nyeri dalam kebanyakan hal hanya merupakan suatu gejala, yang fungsinya adalah melindungi dan memberikan tanda bahaya tentang adanya gangguan-gangguan didalam tubuh, seperti peradangan (rematik, encok), infeksi-infeksi kuman atau kejang-kejang otot.
Penyebab rasa nyeri adalah rangsangan-rangsangan mekanis, fisik, atau kimiawi yang dapat menimbulkan kerusakan-kerusakan pada jaringan dan melepaskan zat-zat tertentu yang disebut mediator-mediator yang letaknya pada ujung-ujung saraf bebas dikulit, selaput lendir, atau jaringan-jaringan (organ-organ) lain. Dari tempat ini rangsangan dialirkan melalui saraf-saraf sensoris ke sistem saraf pusat (SSP) melalui sumsum tukang belakang ke thalamus dan kemudian kepusat nyeri didalam otak besar, dimana rangsangan dirasakan sebagai nyeri. Mediator-mediator nyeri yang terpenting adalah histamine, serotonin, plasmakinin-plasmakinin, dan prostaglandin-prostaglandin, serta ion-ion kalium. Berdasarkan proses terjadinya nyeri, maka rasa nyeri dapat dilawan dengan beberapa cara, yaitu :
1)        Merintangi pembentukan rangsangan dalam reseptor-reseptor nyeri perifer, oleh analgetika perifer atau anestetika local.
2)        Merintangi penyaluran rangsangan nyeri dalam saraf-saraf sensoris, misalnya dengan anestetika local.
3)        Blokade dari pusat nyeri dalam sistem saraf pusat dengan analgetika sentral (narkotika) atau anestetika umum.
Pada pengobatan rasa nyeri dengan analgetika, faktor-faktor psikis turut berperan, misalnya
kesabaran individu dan daya menerima nyeri dari si pasien.
Secara umum analgetika dibagi dalam dua golongan, yaitu :
a)      Analgeti non narkotinik atau analgesik non opioid atau integumental analgesic (misalnya asetosal dan parasetamol).
b)      Analgetika narkotik atau analgesik opioid atau visceral analgesic (misalnya morfin).

2.         PENGERTIAN ANTIPIRETIK
       Obat antipiretik adalah obat untuk menurunkan panas. Hanya menurunkan temperatur tubuh
       saat panas tidak berefektif pada orang normal. Dapat menurunkan panas karena dapat
       menghambat prostaglandin pada CNS.

3.         GOLONGAN ANALGETIK NSAID DAN AID
Analgetik atau obat penghilang nyeri adalah zat-zat yang mengurangi atau melenyapkan
rasa nyeri tanpa menghilangkan kesadaran. Analgetik dibagi menjadi dua, yaitu : Analgetik opioid atau analgetik narkotika dan analgetik non-narkotik.
a.       Analgetik Narkotika
Zat-zat ini memiliki daya menghalangi nyeri yang kuat sekali dengan tingkat kerja yang terletak di sistem saraf pusat. Umumnya mengurangi kesadaran (sifat meredakan dan menidurkan) dan menimbulkan perasaan nyaman (euforia). Dapat mengakibatkan toleransi dan kebiasaan (habituasi) serta ketergantungan psikis dan fisik (ketagihan adiksi) dengan gejala-gejala abstinensia bila pengobatan dihentikan. Karena bahaya adiksi ini, maka kebanyakan analgetika sentral seperti narkotika dimasukkan dalam undang-undang narkotika dan penggunaannya diawasi dengan ketat oleh dirjen POM.
Secara kimiawi, obat-obat ini dapat dibagi dalam beberapa kelompok sebagai berikut : alkaloid candu alamiah, sintesis morfin dan kodein, heroin, hidromorfon, hidrokodon, dan dionin. Contoh : kodein.
1)      Kodein
Mekanisme kerja     : sebuah produk 10% dosis diubah menjadi morfin kerjanya
  disebabkan oleh morfin. Juga merupakan antitusif
  (menekan batuk)
Indikasi                   : penghilang rasa nyeri minor.
Efek tak diinginkan             : serupa dengan morfin, tetapi kurang hebat pada dosis yang
                                  menghilangkan nyeri sedang. Pada dosis tinggi, toksisitas
  seberat morfin.
2)       Methadon
 Fenantren dan turunannya levorfenol termasuk pula pentazosin, antagonis-antagonis morfin adalah zat-zat yang dapat melawan efek-efek samping dari analgetik narkotik tanpa mengurangi kerja analgesiknya dan terutama digunakan pada overdosis atau intoksiaksi dengan obat-obat ini.

b.      Analgetik Non-Narkotika
Obat ini dinamakan ga analgetika perifer, karena tidak mempengaruhi sistem saraf pusat, tidak menurunkan sadaran atau mengakibatkan ketagihan. Semua analgetika perifer juga memiliki kerja tipiretik, yaitu menurunkan suhu badan pada keadaan demam, maka disebut juga analgetik antipiretik. Khasiatnya berdasarkan rangsangannya terhadap pusat pengatur kalor dihipotalamus, yang mengakibatkan vasodilatasi perifer (dikulit) dengan tambahnya pengeluaran kalor dan disertai keluarnya banyak keringat.
Penggolongan analgetik perifer secara kimiawi adalah sebagai berikut :
a)    Salisilat-salisilat, Nasalisilat, asetosal, salisilamida, dan benirilat.
b)   Derivat-derivat paminofenol : fenasetin dan paracetamol (acetaminophen) merupakan devirat para amino fenol. Di indonesia penggunaan paracetamol sebagai analgesik dan antipiretik, telah menggantikan penggunaan salisilat. Sebagai analgesik, paracetamol sebaiknya tidak digunakan terlalu lama karena dapat menimbulkan nefropati analgesik.
     Jika dosis terapi tidak memberi manfaat, biasanya dosis lebih besar tidak menolong, dalam sediaannya sering dikombinasikan dengan cofein yang berfungsi meningkatkan efektinitasnya tanpa perlu meningkatkan dosisnya.  
c)    Acetaminophen
     Derivat-derivat pirozolon : antipirin, aminofenazon, dipiron, fenibutazon, dan turunan-turunannya.
     Ibuprofen (Advil) tersedia bebas dalam dosis rendah dengan berbagai nama dagang, obat ini dikontraindikasikan pada mereka yang menderita polip hidung, angioedema, dan reaktivitas bronkospastik terhadap aspirin. Efek sampingnya adalah gejala saluran cerna. Ibuprofen merupakan devirat asam propionat. Obat ini bersifat analgesik dengan daya antiinflamasi yang tidak terlalu kuat. Efek analgesiknya sama dengan aspirin. Ibu hamil dan menyusui tidak dianjurkan meminum obat ini.
d)   Asam Mefenamat
     Efek-efek samping yang biasanya muncul adalah gangguan-gangguan lambung-usus, kerusakan darah, kerusakan hati, dan ginjal dan juga reaksi-reaksi alergi kulit. Efek-efek samping ini terutama terjadi pada penggunaan lama atau pada dosis besar, maka sebaiknya janganlah menggunakan analgetika ini secara terus-menerus.

B.     GOLONGAN ANALGETIK-ANTIPIRETIK  
            Analgetik adalah obat yang mengurangi atau melenyapkan rasa nyeri tanpa menghilangkan kesadaran. Sedangkan antipiretik adalah obat yang dapat menurunkan suhu tubuh yang tinggi. Jadi, analgetik-antipiretik adalah obat yang mengurangi rasa nyeri dan serentak menurunkan suhu tubuh yang tinggi.
Sebagai mediator nyeri, antara lain adalah sebagai berikut :
a.    Histamin
b.    Serotonin
c.    Plasmokinin (antara lain Bradikinin)
d.    Prostaglandin
e.    Ion kalium
Analgetik diberikan kepada penderita untuk mengurangi rasa nyeri yang dapat ditimbulkan oleh berbagai rangsang mekanis, kimia, dan fisis yang melampaui suatu nilai ambang tertentu (nilai ambang nyeri). Rasa nyeri tersebut terjadi akibat terlepasnya mediator-mediator nyeri (misalnya bradikinin, prostaglandin) dari jaringan yang rusak yang kemudian merangsang reseptor nyeri diujung saraf perifer ataupun ditempat lain. Dari tempat-tempat ini selanjutnya rangsang nyeri diteruskan kepusat nyeri dikorteks serebri oleh saraf sensoris melalui sumsum tulang belakang dan thalamus.
     Menurut Ganiswarna et al (1995), obat analgetik-antipiretik serta obat anti-inflamasi nonsteroid (NSAIDs) merupakan suatu kelompok obat yang heterogen, dan beberapa obat memiliki perbedaan secara kimia. Namun, obat-obat NSAIDs mempunyai banyak persamaan dalam efek terapi dan efek sampingnya. Prototipe golongan obat ini adalah aspirin, sehingga sering disebut juga sebagai aspirin like dugs. Efek terapi dan efek samping dari obat golongan NSAID sebagian besar tergantung dari penghambatan biosintesis leukotrienyang berperan dalam peradangan. Golongan obat NSAIDs bekerja dengan menghambat enzim siklooksigenase dengan cara yang berbeda. Paracetamol dapat menghambat biosintesis prostaglandin apabila lingkungannya mempunyai kadar peroksida yang rendah seperti hipotalamus, sehingga paracetamol mempunyai efek anti-inflamasi yang rendah karena lokasi peradangan biasanya mengandung banyak peroksida yang dihasilkan oleh leukosit. Aspirin dapat menghambat biosintesis prostaglandin dengan cara mengasetilasi gugus aktif sering dari enzim siklo-oksigenase. Thrombosit sangat rentan terhadap penghambatan enzim siklo-oksigenase karena thrombosit tidak mampu mengadakan regenerasi enzim siklo-oksigenase. Semua obat golongan NSAIDs bersifat antipiretik, analgesik, dan anti-inflamasi. Efek samping obat golongan NSAIDs didasari oleh hambatan pada sistem biosintesis prostaglandin. Selain itu, sebagian besar obat bersifat asam sehingga lebih banyak terkumpul dalam sel yang bersifat asam seperti dilambung, ginjal, dan jaringan inflamasi. Efek samping lain diantaranya adalah gangguan fungsi thrombosit akibat penghambatan biosintesis tromboksan A2 dengan akibat terjadinya perpanjangan waktu perdarahan. Namun, efek ini telah dimanfaatkan untuk terapi terhadap thromboemboli. Selain itu, efek samping lain diantaranya adalah ulkus lambung dan perdarahan saluran cerna, hal ini disebabkan oleh adanya iritasi akibat hambatan biosintesis prostaglandin PGE2 dan prostacyclin. PGE2 dan PGI2 banyak ditemukan dimukosa lambung dengan fungsi untuk menghambat sekresi asam lambung dan merangsang sekresi mukus usus halus yang bersifat sitoprotektan. Menurut Insel (1991), Reynolds (1982) diacu dalam mansjoer (2003) obat antiradang menurut struktur kimia dapat dibagi menjadi delapan golongan, diantaranya adalah :
a.       Turunan asam salisilat, yaitu asam asetilsalisilat dan diflunisal.
b.      Turunan pirazolon, yaitu fenilbutazon, oksifenbutazon, antipirin, dan arninopirin.
c.       Indometasin dan senyawa yang masih berhubungan, yaitu indometasin dan sulindak.
d.      Turunan asam propionat, yaitu ibuprofen, naproksen, fenoprofen, ketoprofen, dan flurbiprofen.
e.       Obat pirro (gout), yaitu kolkisin dan alopurinol menurut martin (1989), obat-obatan yang dapat menghambat produksi prostaglandin (NSAIDs) melalui penghambatan sintesis prostaglandin mempunyai kemampuan untuk menurunkan aliran rangsang dari saraf afferent (nociceptive afferents), sehingga berperan sebagai analgesik lemah. Substansi yang dapat menghambat efek atau pelepasan autokoid lainnya (selain prostaglandin) diduga mempunyai peran sebagai analgesik. Glukokortikoid mampu menghambat pelepasan dan produksi autokoid, serta mempunyai efek analgesik perifer. Kortikosteroid bekerja dengan mempengaruhi kecepatan sintesis protein. Molekul hormon kortikosteroid memasuki sel jaringan melalui membran plasma secara difusi pasif, kemudian bereaksi dengan reseptor protein yang spesifik dalam sitoplasma sel jaringan dan membentuk kompleks reseptor-steroid. Kompleks ini akan mengalami perubahan konformasi dan akan bergerak menuju nukleus dan berikatan dengan kromatin. Ikatan ini akan menstimulasi transkripsi RNA dan sintesis protein spesifik. Induksi sintesis protein ini merupakan perantara efek fisiologis steroid. Steroid akan merangsang transkripsi dan sintesis protein spesifik di hati. Steroid juga bersifat sebagai katabolik pada sel limfoid dan fibroblas. Selain itu, steroid juga merangsang sintesis protein yang bersifat menghambat atau toksik terhadap sel-sel limfoid. Umumnya kortikosteroid dibedakan menjadi dua golongan, yaitu glukokortikoid dan mineralokortikoid. Efek utama glukokortikoid diantaranya adalah penyimpanan penyimpanan glikogen dihati dan efek anti-inflamasi. Prototipe glukokortikoid diantaranya adalah kortisol. Kortisol dan analog sintetiknya dapat mencegah atau menekan munculnya gejala peradangan akibat radiasi, zat kimia, infeksi, mekanik, dan alergen. Kortisol dapat menghambat migrasi leukosit ke tempat radang dan aktivitas fagositosis, serta menghambat manifestasi inflamasi yang sudah berlanjut. Kortikosteroid sebagai terapi antiinflamasi bekerja dengan cara menghambat gejala inflamasi (Ganiswara et al. 1995).
Menurut farell dan kolleher (2003), glukokortikoid dapat menghambat aktivasi sel T dan sekresi sitokin. Peran glukokortikoid sebagai anti-inflamasi terjadi melalui ikatan dengan intracellular glucocortikoid receptor (GR). Menurut Martin (1989), glukokortikoid dapat berperan sebagai anti-inflamasi dan imunosupresan. Beberapa aktivitas glukokortikoid sebagai anti-inflamasi :
1)      menghambat dilatasi kapiler dan penurunan permeabilitas kapiler. 
2)      Penurunan ekstravasasi plasma.
3)      Penurunan pergerakan neutrofil dan monosit ke daerah radang.
4)      Penurunan aktivasi makrofag melalui penghambatan produksi limfokin oleh limfosit.
5)      Mengurangi pembentukan kolagen dan mukopolisakarida.
Glukokortikoid menginduksi pelepasan protein spesifik (lipocortin atau lipomodulin) ari leukosit. Lipocortin kemudian akan menghambat enzim fosfolipase A2 yang berperan dalam produksi asam arachidonat dari membran sel. Adanya hambatan terhadap produksi eikosanoid yang merupakan mediator inflamasi, maka glucocorticoid mampu menghambat peradangan. Selain berperan sebagai anti-inflamasi, glukokortikoid juga berperan dalam menekan respon imun.
a.       NSAID (Anti-inflamasi)
Efek dari NSAID (Anti-inflamasi), inflamasi adalah reaksi tubuh untuk mempertahankan atau menghindari faktor lesi. COX2 dapat mempengaruhi terbentuknya PGs dan BK. Peran PGs didalam peradangan yaitu vasoladilatasi dan jaringan edema, serta berkoordinasi dengan bradikinin menyebabkan keradangan.
b.      Mekanisme anti-inflamasi menghambat prostaglandin dengan menghambat COX.
c.       Karakteristik Anti-inflamasi
NSAID hanya mengurangi gejala klinis yang utama (erythema, edema, demam, kelainan fungsi tubuh dan sakit). Radang tidak memiliki efek pada autoimunological proses pada reumatik dan reumatoid radang sendi. Memiliki antithrombik untuk menghambat trombus atau darah yang membeku.
d.      Contoh obat NSAID (Anti-inflamasi)
1)      Golongan indomethacine, proses didalam tubuh. Absorpsi didalam tubuh cepat dan lengkap, metabolisme sebagian berada dihati, yang di ekskresikan didalam urine dan feses, waktu paruhnya 2-3 jam, memiliki anti inflamasi dan efek antipiretik yang merupakan obat penghilang sakit ang disebabkan oleh keradangan, dapat menyembuhkan rematik akut, gangguan pada tulang belakang dan asteoatristis.
Efek samping raksi gastrointrestinal : anorexia (kehilangan nafsu makan), vomting (mual), sakit abdominal, diare.
Alergi : reaksi yang umumnya adalah alergi pada kulit dan dapat menyebabkan asma.
2)      Golongan sulindac, potensinya lebih lemah dari indomethacine tetapi lebih kuat dari aspirin, dapat mengiritasi lambung, indikasinya sama dengan indomethacine.
3)      Golongan Arylacetic Acid
Selain pada reaksi aspirin yang kurang baik juga dapat menyebabkan leucopenia thrombocytopenia, sebagian besar digunakan dalam terapi rematik dan reumatoid radang sendi, ostheoarthitis.
4)      Golongan Arylpropionic Acid
Digunakan untuk penyembuhan radang sendi reumatik dan ostheoarthitis, golongan ini adalah penghambat non selektif cox, sedikit menyebabkan gastrointestinal, metabolismenya dihati dan dikeluarkan di ginjal.
5)      Golongan Piroxicam
Efek mengobati lebih baik dari aspirin indomethacine dan naproxen, keuntungn utamanya yaitu waktu paruh lebih lama 36-45 jam.
6)      Golongan Nimesulide
Jenis baru dari NSAID, penghambat COX-2 yang selektif, memiliki efek anti inflamasi yang kuat dan sedikit efek samping.

C.     EFEK SAMPING ANALGETIK
Efek samping analgetik narkotik contohnya :
a.         Kodein, efek tak diinginkan : serupa dengan morfin, tetapi kurang hebat pada dosis yang
       menghilangkan nyeri sedang. Pada dosis tinggi, toksisitas seberat morfin.
b.         Metadon, efek yang tak diinginkan : Depresi pernafasan, konstipasi, gangguan SSP,
hipotensi ortostatik, mual dan muntah pada dosis awal morfin, efek tak diinginkan gangguan-gangguan lambung, usus (mual, muntah, obstipasi) juga efek-efek pusat lainnya seperti kegelisahan, rasa kantuk, dan perubahan suasana jiwa dengan euforia. Pada dosis yang lebih tinggi terjadi efek-efek yang lebih berbahaya yaitu depresi pernafasan, tekanan darah turun, dan sirkulasi darah terganggu. Akhirnya dapat terjadi koma dan pernafasan terhenti. Efek morfin terhadap sistem saraf pusat berupa analgesia dan narkosis. Analgesia oleh morfin dan opioid lain sudah timbul sebelum penderita tidur dan seringkali analgesia terjadi tanpa disertai tidur. Morfin garis kecil (15-20 mg) menimbulkan euforiapada penderita yang sedang menderita nyeri, sedih dan gelisah. Sebaliknya, dosis yang sama pada orang normal seringkali menimbulkan disforia berupa perasaan kuatir atau takut disertai mual dan muntah, morfin juga menimbulkan rasa kantuk, tidak dapat berkonstrasi, sukar berpikir, apatis, aktivitas motorik berkurang, ketajaman penglihatan berkurang, ektremitas terasa berat, badan terasa panas, muka gatal dan mulut terasa kering, depresi nafas dan miosis. Rasa lapar hilang dan dapat muntah yang tidak selalu disertai rasa mual. Dalam lingkungan yang tenangorang yang diberikan dosis terapi (15-20 mg) morfin akan tertidur cepat dan nyenyak disertai mimpi, nafas lambat dan miosis. Antara nyeri dan efek analgetik (juga efek depresi nafas) morfin dan opioid lain terdapat antagonisme, artinya nyeri merupkan antagonis faalan bagi efek analgetik dan efek depresi nafas morfin. Bila nyeri sudah dialami beberapa waktu sebelum pemberian morfin, efek analgetik obat ini tidak begitu besar. Sebaliknya jika stimulus nyeri ditimbulkan setelah efek analgetik mencapai maksimum, dosis morfin yang diperlukan untuk meniadakan nyeri itu jauh lebih kecil. Penderita yang sedang mengalami nyeri hebat dan memerlukan  morfin dengan dosis besar untuk menghilangkan rasa nyerinya, dapat tahan terhadap depresi nafas morfin. Tetapi bila nyeri itu tiba-tiba hilang, maka kemungkinan besar timbul gejala depresi nafas oleh morfin.

D.       EFEK SAMPING ANALGETIK NON-NARKOTIK
a.         Ibuprofen, efek sampingnya : gangguan saluran cerna : Dispepsia, heartburn, mual, muntah, diare, konstipasi, anoreksia, dll.
Gangguan sistem saraf : sakit kepala, pusing.
Gangguan pendengaran dan penglihatan : tinitus, penurunan pendengaran, gangguan penglihatan sakit kuning, kenaikan SGOT dan SGPT.
Lain-lain : retensi cairan, gagal jantung kongestif, tekanan darah meningkat, hipotensi, aritmia, reaksi hipersenstivitas, mulut kering.
b.         Asam Mefenamat, efek samping terhadap saluran cerna sering timbul misalnya dispepsia dan gejala iritasi lain terhadap mukosa lambung. Efek-efek samping yang biasanya muncul adalah gangguan-gangguan lambung-usus, kerusakan darah, kerusakan hati, dan ginjal dan juga reaksi-reaksi alergi kulit. Efek-efek samping ini terutama terjadi pada penggunaan lama atau pada dosis besar, maka sebaiknya janganlah menggunakan analgetika ini secara terus menerus.

E.     DAMPAK PENGGUNAAN ANALGETIK PADA KEHAMILAN.
Penggunaan obat analgetik-antipiretik pada saat mengandung bagi ibu hamil harus diperhatikan. Ibu hamil yang mengkonsumsi obat secara sembarangan dapat menyebabkan cacat pada janin. Sebagian obat yang diminum oleh ibu hamil dapat menembus plasenta sampai masuk kedalam sirkulasi janin, sehingga kadarnya dalam sirkulasi bayi hampir sama dengan kadar dalam darah ibu yang dalam beberapa situasi akan membahayakan bayi. Pengaruh buruk obat terhadap janin, secara umum dapat bersifat toksik, teratogenik, letal tergantung pada sifat obat dan umur kehamilan pada saat minum obat. Pengaruh toksik adalah jika obat yang diminum selama masa kehamilan menyebabkan terjadinya gangguan fisiologik atau bio-kimiawi dari janin yang dikandung. Dan biasanya gejalanya baru muncul beberapa saat setelah kelahiran. Pengaruh obat bersifat teratogenik, jika menyebabkan terjadinya malformasi togenik ini biasanya terjadi pada dosis subletal. Sedangkan pengaruh obat yang bersifat letal adalah yang mengakibatkan kematian janin dalam kandungan.
Secara umum pengaruh obat pada janin dapat beragam sesuai dengan fase-fase berikut :
1.      Fase implantasi yaitu pada umur kehamilan kurang dari 3 minggu. Pada fase ini obat dapat memberi pengaruh buruk atau mungkin tidak sama sekali. Jika terjadi pengaruh buruk biasanya menyebabkan kematian embrio atau berakhirnya kehamilan (abortus).
2.      Fase embrional atau organogenesis, yaitu pada umur kehamilan antara 4-8 minggu. Pada fase ini terjadi diferensiasi pertumbuhan untuk pembentukan organ-organ tubuh, sehingga merupakan fase yang paling peka untuk terjadinya malformasi anatomik (pengaruh teratogenik). Selama embriogenesis kerusakan bergantung pada saat kerusakan terjadi, karena selama waktu itu organ-organ itu dibentuk dan blastula mengalami diferensiasi pada waktu berbeda-beda. Jika blastula yang dipengaruhi masih belum berdeferensiasi dan kerusakan tidak letal maka terdapat kemungkinan untuk restitutio ad integrum. Sebaliknya jika bahan yang merugikan mencapai blastula yang sedang dalam fase deferensiasi maka terjadi cacat (pembentukan salah) berbagai pengaruh buruk yang terjadi antara lain : Gangguan fungsional atau metabolic yang permanen yang biasanya baru muncul kemudian, jadi tidak timbul secara langsung pada saat kehamilan, pengaruh letal berupa kematian janin atau terjadinya abortus, pengaruh subletal : tidak terjadi kematian janin tetapi terjadi malformasi anatomik (struktur) pertumbuhan organ atau pengaruh teratogenik. Kata teratogenik sendiri berasal dari bahasa yunani yang berarti monster.
3.      Fase fetal yaitu pada trimester kedua dan ketiga kehamilan. Dalam fase ini terjadi maturasi dan pertumbuhan lebih lanjut dari janin. Pengaruh buruk senyawa asing bagi janin dalam fase ini dapat berupa gangguan pertumbuhan baik terhadap fungsi-fungsi fisiologik atau biokimiawi organ-organ. Keluhan nyeri selama masa kehamilan umum dijumpai. Hal ini berkaitan dengan masalah fisiologis dari si ibu karena adanya tarikan otot-otot dan sendi karena kehamilan maupun sebab-sebab yang lain. Untuk nyeri yang tidak berkaitan dengan proses radang, pemberian obat pengurang nyeri biasanya dilakukan dalam jangka waktu relatife pendek. Untuk nyeri yang berkaitan dengan proses radang, umumnya diperlukan pengobatan dalam waktu tertentu. Penilaian yang seksama terhadap pereda nyeri perlu dilakukan agar dapat ditentukan pilihan jenis obat yang paling tepat.
Pemakaian NSAID (Non steroid anti infamantory drug) sebaiknya dihindari pada TM III. Obat-obat tersebut menghambat sintesis prostaglandin dan ketika diberikan pada wanita hamil dapat menyebabkan penutupan ductus arteriosus, gangguan pembentukan ginjal janin, menghambat agregasi trombosit dan tertundanya persalinan dan kelahiran. Pengobatan NSAID selama trimester akhir kehamilan diberikan sesuai dengan indikasi. Selama beberapa hari sebelum hari perkiraan lahir, obat-obat  ini sebaiknya dihindari. Yang termasuk golongan ini adalah diklofenac, diffunisal, ibuprofen, indomethasin, ketoprofen, ketorolac, asam mafenamet, nabumeton, naproxen, phenylbutazon, piroksikam, sodium salisilat, sulindac, tenoksikam, asam tioprofenic mempunyai mekanisme lazim untuk menghambat sintesa prostaglandin yang terlibat dalam induksi proses melahirkan, NSAID dapat memperpanjang masa kehamilan.

F.        STUDI KASUS PENGGUNAAN ANALGETIK DAN ANTIPIRETIK PADA ANAK DAN IBU HAMIL
a)      pada ibu hamil misalnya ibu mengkonsumsi paracetamol.
Paracetamol merupakan analgesik-antipiretik dan anti-inflamasi non-steroid (AINS) yang memiliki efek analgetik (menghilangkan rasa nyeri), antipiretik (menurunkan demam), dan anti-inflamasi (mengurangi proses peradangan). Paracetamol paling aman jika diberikan selama kehamilan. Paracetamol dalam dosis tinggi dan jangka waktu pemberian yang lama bisa menyebabkan toksisitas atau keracunan pada ginjal. Sehingga dikategorikan sebagai analgetik-antipiretik. Golongan analgetik-antipiretik adalah golongan analgetik ringan. Paracetamol merupakan contoh obat dalam golongan ini. Bebrapa macam merk dagang, contohnya paracetamol (obat penurun panas atau penghilang nyeri) bisa diperdagangkan dengan merk bodrex, panadol, paramex.
b)      Ibu hamil mengkonsumsi antalgin.
Antalgin adalah salah satu obat penghilang rasa sakit (analgetik) turunan NSAID, atau Non-SteroidalAnti inflammatory Drugs. Antalgin lebih banyak bersifat analgetik. Pemakaiannya dihindari saat hamil TM I dan 6 minngu terakhir.
c)      Analgesik opiate.
Pemakaian obat-obatan analgetika narkotik pada kelahiran kemungkinan dapat menyebabkan terjadinya depresi respirasi pada janin yang manifest sebagai asfiksia pada waktu lahir. Namun demikian ternyata berdasar penelitin, morfin sendiri tanpa disertai dengan faktor-faktor pendorong lain, baik yang berasal dari ibu atau janin, tidak secara langsung menyebabkan asfiksia. Tetapi hal ini bukan berarti bahwa obat-obat opiate dapat dipakai begitu saja. Dalam proses kelahiran. Risiko terjadinya depresi kardiorespirasi harus selalu diperhitungkan pada pemakaian obat-obat analgetika narkotik pada kelahiran.
Kemungkinan lain juga dapat terjadi bradikardi pada neonatus. Petidin merupakan analgetika narkotika yang dianggap paling aman untuk pemakaian selama proses persalinan (obstetric-analgesics). Tetapi kenyataannya bayi-bayi yang lahir dari ibu yang mendapatkan petidin selama proses kelahiran menunjukkan skala neuropsikologik lebih rendah dibanding bayi-bayi yang ibunya tidak mendapatkan obat apapun atau yang mendapatkan anestesi lokal. Sehingga karena alasan ini maka pemakaian petidin pada persalinan hanya dibenarkan apabila anastesi epidural memang tidak memungkinkan.
Pemakaian analgetika narkotik selama kehamilan atau persalinan dapat mengurangi kontraktilitas uterus sehingga memperlambat proses kelahiran. Terhadap ibu, karena depresi fungsi otot polos dapat terjadi penurunan motilitas usus dan stasis lambung dengan segala konsekuensinya. Penyalahgunaan obat-obat analgetika narkotik oleh ibu hamil dapat menyebabkan ketergantungan pada janin dalam kandungan. Hal ini akan manifest dengan munculnya gejala-gejala withdrawl pada bayi yang baru lahir. Gejala-gejala tersebut meliputi muntah, diare, tremor, mudah terangsang sampai kejang.
d)      Ibu hamil mengkonsumsi aspirin.
Aspirin menghambat sintesis prostaglandin, ketika diberikan kepada wanita hamil dapat menyebabkan penutupan prematur ductus arteriosus janin, persalinan dan kelahiran tertunda, meningkatkan waktu perdarahan pada janin maupun ibu karena efek anti plateletnya. Penggunaan aspirin yang kronik diawal kehamilan berhubungan dengan anemia pada wanita hamil. Aspirin terbukti menimbulkan gangguan proses tumbuh kembang janin. Selain itu, aspirin memicu komplikasi selama kehamilan. Bahkan, kandungan aspirin masih ditemukan dalam ASI. Tubuh bayi akan menerima 4-8% dosis aspirin yang dikonsumsi oleh ibu. Penelitian mengatakan bahwa bayi memilih ASI dari ibu yang mengkonsumsi aspirin berisiko untuk menderita Reye’s syndrome yang merupakan suatu penyakit gangguan fungsi otak dan hati. Karenanya, hindari pemakaian aspirin, terutama selama trimester ketiga.
e)      Ibu hamil mengkonsumsi ibuprofen.
Ibuprofen merupakan derivat asam propionat yang diperkenalkan banyak negara. Obat ini bersifat analgesik dengan daya antiinflamasi yang tidak terlalu kuat. Efek analgesiknya sama dengan aspirin, ibuprofen tidak dianjurkan diminum oleh wanita hamil dan menyusui.




BAB III
PENUTUP

A.      Kesimpulan
     Kesimpulan antipiretik adalah obat yang menurunkan suhu tubuh yang tinggi. Jadi analgetik-antipiretik adalah obat yang mengurangi rasa nyeri dan serentak menurunkan suhu tubuh yang tinggi, penggunaan obat analgetik-antipiretik pada saat mengandung bagi ibu hamil harus diperhatikan. Ibu hamil yang mengkonsumsi obat secara sembarangan dapat menyebabkan cacat pada janin. Sebagian obat yang diminum oleh ibu hamil dapat menembus plasenta sampai masuk kedalam sirkulasi janin, sehingga kadarnya dalam sirkulasi bayi hampir sama dengan kadar dalam darah ibu yang dalam beberapa situasi akan membahayakan bayi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar