BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar belakang
Sebelum memulai pelayanan di
masyakarat seorang tenaga kesehatan harus mengetahui dan memahami mengenai
obat-obatan. Manusia adalah salah satu sasaran praktik dimana manusia tersebut
membutuhkan pelayanan dari seorang tenaga kesehatan secara maksimal, oleh
karena itu seorang bidan juga dituntut untuk lebih memahami kebutuhan akan
obat-obatan bagi manusia yang membutuhkan demi memperbaiki status kesehatannya.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa itu obat
analgetik dan antipiretik
2.
Apa itu golongan
analgetik NSAID dan AID
3.
Apa efek samping
penggunaan analgetik
4.
Apa saja dampak
penggunaan analgetik pada kehamilan
5.
Studi kasus
penggunaan analgetik dan antipiretik pada anak dan ibu hamil
C.
Tujuan
1.
Memahami dengan
baik apa itu obat analgetik dan antipiretik
2.
Dapat mengetahui
golongan dari analgetik NSAID dan AID
3.
Mengetahui efek
samping dari analgetik
4.
Mengetahui
dampak penggunaan analgetik pada kehamilan
5.
Mengetahui studi
kasus penggunaan analgetik dan antipiretik pada anak dan ibu hamil
BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN
ANALGETIK DAN ANTIPIRETIK
1.
PENGERTIAN
ANALGETIK
Analgetik
adalah obat atau senyawa yang dipergunakan untuk mengurangi rasa sakit atau
nyeri
tanpa menghilangkan kesadaran. Kesadaran akan perasaan sakit terdiri dari dua proses,
yaitu
:
a.
Penerimaan
rangsangan sakit di bagian otak besar dan reaksi-reaksi emosional dan individu
terhadap rangsang.
b.
Obat
penghalang nyeri (analgetik) mempengaruhi proses pertama dengan mempertinggi
ambang kesadaran akan perasaan sakit, sedangkan narkotik menekan reaksi-reaksi
psychis yang diakibatkan oleh rangsangan sakit.
Rasa nyeri dalam kebanyakan hal hanya merupakan
suatu gejala, yang fungsinya adalah melindungi dan memberikan tanda bahaya
tentang adanya gangguan-gangguan didalam tubuh, seperti peradangan (rematik,
encok), infeksi-infeksi kuman atau kejang-kejang otot.
Penyebab rasa nyeri adalah rangsangan-rangsangan
mekanis, fisik, atau kimiawi yang dapat menimbulkan kerusakan-kerusakan pada
jaringan dan melepaskan zat-zat tertentu yang disebut mediator-mediator yang
letaknya pada ujung-ujung saraf bebas dikulit, selaput lendir, atau
jaringan-jaringan (organ-organ) lain. Dari tempat ini rangsangan dialirkan
melalui saraf-saraf sensoris ke sistem saraf pusat (SSP) melalui sumsum tukang
belakang ke thalamus dan kemudian kepusat nyeri didalam otak besar, dimana
rangsangan dirasakan sebagai nyeri. Mediator-mediator nyeri yang terpenting
adalah histamine, serotonin, plasmakinin-plasmakinin, dan
prostaglandin-prostaglandin, serta ion-ion kalium. Berdasarkan proses
terjadinya nyeri, maka rasa nyeri dapat dilawan dengan beberapa cara, yaitu :
1)
Merintangi
pembentukan rangsangan dalam reseptor-reseptor nyeri perifer, oleh analgetika
perifer atau anestetika local.
2)
Merintangi
penyaluran rangsangan nyeri dalam saraf-saraf sensoris, misalnya dengan
anestetika local.
3)
Blokade
dari pusat nyeri dalam sistem saraf pusat dengan analgetika sentral (narkotika)
atau anestetika umum.
Pada pengobatan rasa
nyeri dengan analgetika, faktor-faktor psikis turut berperan, misalnya
kesabaran individu dan
daya menerima nyeri dari si pasien.
Secara umum analgetika
dibagi dalam dua golongan, yaitu :
a)
Analgeti
non narkotinik atau analgesik non opioid atau integumental analgesic (misalnya
asetosal dan parasetamol).
b)
Analgetika
narkotik atau analgesik opioid atau visceral analgesic (misalnya morfin).
2.
PENGERTIAN
ANTIPIRETIK
Obat antipiretik adalah
obat untuk menurunkan panas. Hanya menurunkan temperatur tubuh
saat panas tidak
berefektif pada orang normal. Dapat menurunkan panas karena dapat
menghambat prostaglandin
pada CNS.
3.
GOLONGAN
ANALGETIK NSAID DAN AID
Analgetik
atau obat penghilang nyeri adalah zat-zat yang mengurangi atau melenyapkan
rasa nyeri
tanpa menghilangkan kesadaran. Analgetik dibagi menjadi dua, yaitu : Analgetik
opioid atau analgetik narkotika dan analgetik non-narkotik.
a.
Analgetik
Narkotika
Zat-zat ini
memiliki daya menghalangi nyeri yang kuat sekali dengan tingkat kerja yang
terletak di sistem saraf pusat. Umumnya mengurangi kesadaran (sifat meredakan
dan menidurkan) dan menimbulkan perasaan nyaman (euforia). Dapat mengakibatkan
toleransi dan kebiasaan (habituasi) serta ketergantungan psikis dan fisik
(ketagihan adiksi) dengan gejala-gejala abstinensia bila pengobatan dihentikan.
Karena bahaya adiksi ini, maka kebanyakan analgetika sentral seperti narkotika
dimasukkan dalam undang-undang narkotika dan penggunaannya diawasi dengan ketat
oleh dirjen POM.
Secara
kimiawi, obat-obat ini dapat dibagi dalam beberapa kelompok sebagai berikut :
alkaloid candu alamiah, sintesis morfin dan kodein, heroin, hidromorfon,
hidrokodon, dan dionin. Contoh : kodein.
1)
Kodein
Mekanisme
kerja : sebuah produk 10% dosis diubah
menjadi morfin kerjanya
disebabkan oleh morfin. Juga merupakan
antitusif
(menekan batuk)
Indikasi : penghilang rasa nyeri
minor.
Efek tak
diinginkan : serupa dengan
morfin, tetapi kurang hebat pada dosis yang
menghilangkan
nyeri sedang. Pada dosis tinggi, toksisitas
seberat morfin.
2)
Methadon
Fenantren dan turunannya
levorfenol termasuk pula pentazosin, antagonis-antagonis morfin adalah zat-zat
yang dapat melawan efek-efek samping dari analgetik narkotik tanpa mengurangi
kerja analgesiknya dan terutama digunakan pada overdosis atau intoksiaksi
dengan obat-obat ini.
b.
Analgetik
Non-Narkotika
Obat ini dinamakan ga
analgetika perifer, karena tidak mempengaruhi sistem saraf pusat, tidak
menurunkan sadaran atau mengakibatkan ketagihan. Semua analgetika perifer juga
memiliki kerja tipiretik, yaitu menurunkan suhu badan pada keadaan demam, maka
disebut juga analgetik antipiretik. Khasiatnya berdasarkan rangsangannya
terhadap pusat pengatur kalor dihipotalamus, yang mengakibatkan vasodilatasi
perifer (dikulit) dengan tambahnya pengeluaran kalor dan disertai keluarnya
banyak keringat.
Penggolongan
analgetik perifer secara kimiawi adalah sebagai berikut :
a)
Salisilat-salisilat,
Nasalisilat, asetosal, salisilamida, dan benirilat.
b)
Derivat-derivat
paminofenol : fenasetin dan paracetamol (acetaminophen) merupakan devirat para
amino fenol. Di indonesia penggunaan paracetamol sebagai analgesik dan
antipiretik, telah menggantikan penggunaan salisilat. Sebagai analgesik,
paracetamol sebaiknya tidak digunakan terlalu lama karena dapat menimbulkan
nefropati analgesik.
Jika dosis terapi tidak
memberi manfaat, biasanya dosis lebih besar tidak menolong, dalam sediaannya
sering dikombinasikan dengan cofein yang berfungsi meningkatkan efektinitasnya
tanpa perlu meningkatkan dosisnya.
c)
Acetaminophen
Derivat-derivat pirozolon
: antipirin, aminofenazon, dipiron, fenibutazon, dan turunan-turunannya.
Ibuprofen (Advil)
tersedia bebas dalam dosis rendah dengan berbagai nama dagang, obat ini
dikontraindikasikan pada mereka yang menderita polip hidung, angioedema, dan
reaktivitas bronkospastik terhadap aspirin. Efek sampingnya adalah gejala
saluran cerna. Ibuprofen merupakan devirat asam propionat. Obat ini bersifat
analgesik dengan daya antiinflamasi yang tidak terlalu kuat. Efek analgesiknya
sama dengan aspirin. Ibu hamil dan menyusui tidak dianjurkan meminum obat ini.
d)
Asam
Mefenamat
Efek-efek samping yang
biasanya muncul adalah gangguan-gangguan lambung-usus, kerusakan darah,
kerusakan hati, dan ginjal dan juga reaksi-reaksi alergi kulit. Efek-efek
samping ini terutama terjadi pada penggunaan lama atau pada dosis besar, maka
sebaiknya janganlah menggunakan analgetika ini secara terus-menerus.
B. GOLONGAN ANALGETIK-ANTIPIRETIK
Analgetik adalah obat
yang mengurangi atau melenyapkan rasa nyeri tanpa menghilangkan kesadaran.
Sedangkan antipiretik adalah obat yang dapat menurunkan suhu tubuh yang tinggi.
Jadi, analgetik-antipiretik adalah obat yang mengurangi rasa nyeri dan serentak
menurunkan suhu tubuh yang tinggi.
Sebagai mediator nyeri, antara lain adalah sebagai
berikut :
a.
Histamin
b.
Serotonin
c.
Plasmokinin
(antara lain Bradikinin)
d.
Prostaglandin
e.
Ion
kalium
Analgetik diberikan kepada
penderita untuk mengurangi rasa nyeri yang dapat ditimbulkan oleh berbagai
rangsang mekanis, kimia, dan fisis yang melampaui suatu nilai ambang tertentu
(nilai ambang nyeri). Rasa nyeri tersebut terjadi akibat terlepasnya mediator-mediator
nyeri (misalnya bradikinin, prostaglandin) dari jaringan yang rusak yang
kemudian merangsang reseptor nyeri diujung saraf perifer ataupun ditempat lain.
Dari tempat-tempat ini selanjutnya rangsang nyeri diteruskan kepusat nyeri
dikorteks serebri oleh saraf sensoris melalui sumsum tulang belakang dan
thalamus.
Menurut
Ganiswarna et al (1995), obat analgetik-antipiretik serta obat anti-inflamasi
nonsteroid (NSAIDs) merupakan suatu kelompok obat yang heterogen, dan beberapa
obat memiliki perbedaan secara kimia. Namun, obat-obat NSAIDs mempunyai banyak
persamaan dalam efek terapi dan efek sampingnya. Prototipe golongan obat ini
adalah aspirin, sehingga sering disebut juga sebagai aspirin like dugs. Efek
terapi dan efek samping dari obat golongan NSAID sebagian besar tergantung dari
penghambatan biosintesis leukotrienyang berperan dalam peradangan. Golongan
obat NSAIDs bekerja dengan menghambat enzim siklooksigenase dengan cara yang
berbeda. Paracetamol dapat menghambat biosintesis prostaglandin apabila
lingkungannya mempunyai kadar peroksida yang rendah seperti hipotalamus,
sehingga paracetamol mempunyai efek anti-inflamasi yang rendah karena lokasi
peradangan biasanya mengandung banyak peroksida yang dihasilkan oleh leukosit.
Aspirin dapat menghambat biosintesis prostaglandin dengan cara mengasetilasi
gugus aktif sering dari enzim siklo-oksigenase. Thrombosit sangat rentan
terhadap penghambatan enzim siklo-oksigenase karena thrombosit tidak mampu
mengadakan regenerasi enzim siklo-oksigenase. Semua obat golongan NSAIDs
bersifat antipiretik, analgesik, dan anti-inflamasi. Efek samping obat golongan
NSAIDs didasari oleh hambatan pada sistem biosintesis prostaglandin. Selain
itu, sebagian besar obat bersifat asam sehingga lebih banyak terkumpul dalam
sel yang bersifat asam seperti dilambung, ginjal, dan jaringan inflamasi. Efek
samping lain diantaranya adalah gangguan fungsi thrombosit akibat penghambatan
biosintesis tromboksan A2 dengan akibat terjadinya perpanjangan waktu
perdarahan. Namun, efek ini telah dimanfaatkan untuk terapi terhadap
thromboemboli. Selain itu, efek samping lain diantaranya adalah ulkus lambung
dan perdarahan saluran cerna, hal ini disebabkan oleh adanya iritasi akibat
hambatan biosintesis prostaglandin PGE2 dan prostacyclin. PGE2 dan PGI2 banyak
ditemukan dimukosa lambung dengan fungsi untuk menghambat sekresi asam lambung
dan merangsang sekresi mukus usus halus yang bersifat sitoprotektan. Menurut
Insel (1991), Reynolds (1982) diacu dalam mansjoer (2003) obat antiradang menurut
struktur kimia dapat dibagi menjadi delapan golongan, diantaranya adalah :
a.
Turunan
asam salisilat, yaitu asam asetilsalisilat dan diflunisal.
b.
Turunan
pirazolon, yaitu fenilbutazon, oksifenbutazon, antipirin, dan arninopirin.
c.
Indometasin
dan senyawa yang masih berhubungan, yaitu indometasin dan sulindak.
d.
Turunan
asam propionat, yaitu ibuprofen, naproksen, fenoprofen, ketoprofen, dan
flurbiprofen.
e.
Obat
pirro (gout), yaitu kolkisin dan alopurinol menurut martin (1989), obat-obatan
yang dapat menghambat produksi prostaglandin (NSAIDs) melalui penghambatan
sintesis prostaglandin mempunyai kemampuan untuk menurunkan aliran rangsang
dari saraf afferent (nociceptive afferents), sehingga berperan sebagai
analgesik lemah. Substansi yang dapat menghambat efek atau pelepasan autokoid
lainnya (selain prostaglandin) diduga mempunyai peran sebagai analgesik.
Glukokortikoid mampu menghambat pelepasan dan produksi autokoid, serta
mempunyai efek analgesik perifer. Kortikosteroid bekerja dengan mempengaruhi
kecepatan sintesis protein. Molekul hormon kortikosteroid memasuki sel jaringan
melalui membran plasma secara difusi pasif, kemudian bereaksi dengan reseptor
protein yang spesifik dalam sitoplasma sel jaringan dan membentuk kompleks
reseptor-steroid. Kompleks ini akan mengalami perubahan konformasi dan akan
bergerak menuju nukleus dan berikatan dengan kromatin. Ikatan ini akan
menstimulasi transkripsi RNA dan sintesis protein spesifik. Induksi sintesis
protein ini merupakan perantara efek fisiologis steroid. Steroid akan
merangsang transkripsi dan sintesis protein spesifik di hati. Steroid juga
bersifat sebagai katabolik pada sel limfoid dan fibroblas. Selain itu, steroid
juga merangsang sintesis protein yang bersifat menghambat atau toksik terhadap
sel-sel limfoid. Umumnya kortikosteroid dibedakan menjadi dua golongan, yaitu
glukokortikoid dan mineralokortikoid. Efek utama glukokortikoid diantaranya
adalah penyimpanan penyimpanan glikogen dihati dan efek anti-inflamasi.
Prototipe glukokortikoid diantaranya adalah kortisol. Kortisol dan analog
sintetiknya dapat mencegah atau menekan munculnya gejala peradangan akibat
radiasi, zat kimia, infeksi, mekanik, dan alergen. Kortisol dapat menghambat
migrasi leukosit ke tempat radang dan aktivitas fagositosis, serta menghambat manifestasi
inflamasi yang sudah berlanjut. Kortikosteroid sebagai terapi antiinflamasi
bekerja dengan cara menghambat gejala inflamasi (Ganiswara et al. 1995).
Menurut farell dan
kolleher (2003), glukokortikoid dapat menghambat aktivasi sel T dan sekresi sitokin.
Peran glukokortikoid sebagai anti-inflamasi terjadi melalui ikatan dengan intracellular glucocortikoid receptor (GR).
Menurut Martin (1989), glukokortikoid dapat berperan sebagai anti-inflamasi dan
imunosupresan. Beberapa aktivitas glukokortikoid sebagai anti-inflamasi :
1)
menghambat
dilatasi kapiler dan penurunan permeabilitas kapiler.
2)
Penurunan
ekstravasasi plasma.
3)
Penurunan
pergerakan neutrofil dan monosit ke daerah radang.
4)
Penurunan
aktivasi makrofag melalui penghambatan produksi limfokin oleh limfosit.
5)
Mengurangi
pembentukan kolagen dan mukopolisakarida.
Glukokortikoid
menginduksi pelepasan protein spesifik (lipocortin
atau lipomodulin) ari leukosit. Lipocortin
kemudian akan menghambat enzim fosfolipase A2 yang berperan dalam produksi
asam arachidonat dari membran sel. Adanya hambatan terhadap produksi eikosanoid
yang merupakan mediator inflamasi, maka glucocorticoid mampu menghambat
peradangan. Selain berperan sebagai anti-inflamasi, glukokortikoid juga
berperan dalam menekan respon imun.
a.
NSAID
(Anti-inflamasi)
Efek dari
NSAID (Anti-inflamasi), inflamasi adalah reaksi tubuh untuk mempertahankan atau
menghindari faktor lesi. COX2 dapat mempengaruhi terbentuknya PGs dan BK. Peran
PGs didalam peradangan yaitu vasoladilatasi dan jaringan edema, serta
berkoordinasi dengan bradikinin menyebabkan keradangan.
b.
Mekanisme
anti-inflamasi menghambat prostaglandin dengan menghambat COX.
c.
Karakteristik
Anti-inflamasi
NSAID hanya
mengurangi gejala klinis yang utama (erythema, edema, demam, kelainan fungsi
tubuh dan sakit). Radang tidak memiliki efek pada autoimunological proses pada
reumatik dan reumatoid radang sendi. Memiliki antithrombik untuk menghambat
trombus atau darah yang membeku.
d.
Contoh
obat NSAID (Anti-inflamasi)
1)
Golongan
indomethacine, proses didalam tubuh. Absorpsi didalam tubuh cepat dan lengkap,
metabolisme sebagian berada dihati, yang di ekskresikan didalam urine dan
feses, waktu paruhnya 2-3 jam, memiliki anti inflamasi dan efek antipiretik
yang merupakan obat penghilang sakit ang disebabkan oleh keradangan, dapat
menyembuhkan rematik akut, gangguan pada tulang belakang dan asteoatristis.
Efek samping
raksi gastrointrestinal : anorexia (kehilangan nafsu makan), vomting (mual),
sakit abdominal, diare.
Alergi
: reaksi yang umumnya adalah alergi pada kulit dan dapat menyebabkan asma.
2)
Golongan
sulindac, potensinya lebih lemah dari indomethacine tetapi lebih kuat dari
aspirin, dapat mengiritasi lambung, indikasinya sama dengan indomethacine.
3)
Golongan
Arylacetic Acid
Selain pada
reaksi aspirin yang kurang baik juga dapat menyebabkan leucopenia
thrombocytopenia, sebagian besar digunakan dalam terapi rematik dan reumatoid
radang sendi, ostheoarthitis.
4)
Golongan
Arylpropionic Acid
Digunakan
untuk penyembuhan radang sendi reumatik dan ostheoarthitis, golongan ini adalah
penghambat non selektif cox, sedikit menyebabkan gastrointestinal,
metabolismenya dihati dan dikeluarkan di ginjal.
5)
Golongan
Piroxicam
Efek
mengobati lebih baik dari aspirin indomethacine dan naproxen, keuntungn
utamanya yaitu waktu paruh lebih lama 36-45 jam.
6)
Golongan
Nimesulide
Jenis baru
dari NSAID, penghambat COX-2 yang selektif, memiliki efek anti inflamasi yang
kuat dan sedikit efek samping.
C. EFEK
SAMPING ANALGETIK
Efek samping analgetik narkotik contohnya :
a.
Kodein,
efek tak diinginkan : serupa dengan morfin, tetapi kurang hebat pada dosis yang
menghilangkan nyeri
sedang. Pada dosis tinggi, toksisitas seberat morfin.
b.
Metadon,
efek yang tak diinginkan : Depresi pernafasan, konstipasi, gangguan SSP,
hipotensi
ortostatik, mual dan muntah pada dosis awal morfin, efek tak diinginkan gangguan-gangguan
lambung, usus (mual, muntah, obstipasi) juga efek-efek pusat lainnya seperti
kegelisahan, rasa kantuk, dan perubahan suasana jiwa dengan euforia. Pada dosis
yang lebih tinggi terjadi efek-efek yang lebih berbahaya yaitu depresi
pernafasan, tekanan darah turun, dan sirkulasi darah terganggu. Akhirnya dapat
terjadi koma dan pernafasan terhenti. Efek morfin terhadap sistem saraf pusat
berupa analgesia dan narkosis. Analgesia oleh morfin dan opioid lain sudah
timbul sebelum penderita tidur dan seringkali analgesia terjadi tanpa disertai
tidur. Morfin garis kecil (15-20 mg) menimbulkan euforiapada penderita yang
sedang menderita nyeri, sedih dan gelisah. Sebaliknya, dosis yang sama pada
orang normal seringkali menimbulkan disforia berupa perasaan kuatir atau takut
disertai mual dan muntah, morfin juga menimbulkan rasa kantuk, tidak dapat
berkonstrasi, sukar berpikir, apatis, aktivitas motorik berkurang, ketajaman
penglihatan berkurang, ektremitas terasa berat, badan terasa panas, muka gatal
dan mulut terasa kering, depresi nafas dan miosis. Rasa lapar hilang dan dapat
muntah yang tidak selalu disertai rasa mual. Dalam lingkungan yang tenangorang
yang diberikan dosis terapi (15-20 mg) morfin akan tertidur cepat dan nyenyak
disertai mimpi, nafas lambat dan miosis. Antara nyeri dan efek analgetik (juga
efek depresi nafas) morfin dan opioid lain terdapat antagonisme, artinya nyeri
merupkan antagonis faalan bagi efek analgetik dan efek depresi nafas morfin.
Bila nyeri sudah dialami beberapa waktu sebelum pemberian morfin, efek
analgetik obat ini tidak begitu besar. Sebaliknya jika stimulus nyeri
ditimbulkan setelah efek analgetik mencapai maksimum, dosis morfin yang
diperlukan untuk meniadakan nyeri itu jauh lebih kecil. Penderita yang sedang
mengalami nyeri hebat dan memerlukan
morfin dengan dosis besar untuk menghilangkan rasa nyerinya, dapat tahan
terhadap depresi nafas morfin. Tetapi bila nyeri itu tiba-tiba hilang, maka
kemungkinan besar timbul gejala depresi nafas oleh morfin.
D. EFEK
SAMPING ANALGETIK NON-NARKOTIK
a.
Ibuprofen,
efek sampingnya : gangguan saluran cerna : Dispepsia, heartburn, mual, muntah,
diare, konstipasi, anoreksia, dll.
Gangguan
sistem saraf : sakit kepala, pusing.
Gangguan
pendengaran dan penglihatan : tinitus, penurunan pendengaran, gangguan
penglihatan sakit kuning, kenaikan SGOT dan SGPT.
Lain-lain :
retensi cairan, gagal jantung kongestif, tekanan darah meningkat, hipotensi,
aritmia, reaksi hipersenstivitas, mulut kering.
b.
Asam
Mefenamat, efek samping terhadap saluran cerna sering timbul misalnya dispepsia
dan gejala iritasi lain terhadap mukosa lambung. Efek-efek samping yang
biasanya muncul adalah gangguan-gangguan lambung-usus, kerusakan darah,
kerusakan hati, dan ginjal dan juga reaksi-reaksi alergi kulit. Efek-efek
samping ini terutama terjadi pada penggunaan lama atau pada dosis besar, maka
sebaiknya janganlah menggunakan analgetika ini secara terus menerus.
E. DAMPAK
PENGGUNAAN ANALGETIK PADA KEHAMILAN.
Penggunaan
obat analgetik-antipiretik pada saat mengandung bagi ibu hamil harus
diperhatikan. Ibu hamil yang mengkonsumsi obat secara sembarangan dapat
menyebabkan cacat pada janin. Sebagian obat yang diminum oleh ibu hamil dapat
menembus plasenta sampai masuk kedalam sirkulasi janin, sehingga kadarnya dalam
sirkulasi bayi hampir sama dengan kadar dalam darah ibu yang dalam beberapa
situasi akan membahayakan bayi. Pengaruh buruk obat terhadap janin, secara umum
dapat bersifat toksik, teratogenik, letal tergantung pada sifat obat dan umur
kehamilan pada saat minum obat. Pengaruh toksik adalah jika obat yang diminum
selama masa kehamilan menyebabkan terjadinya gangguan fisiologik atau
bio-kimiawi dari janin yang dikandung. Dan biasanya gejalanya baru muncul
beberapa saat setelah kelahiran. Pengaruh obat bersifat teratogenik, jika
menyebabkan terjadinya malformasi togenik ini biasanya terjadi pada dosis
subletal. Sedangkan pengaruh obat yang bersifat letal adalah yang mengakibatkan
kematian janin dalam kandungan.
Secara umum pengaruh obat pada janin dapat beragam
sesuai dengan fase-fase berikut :
1.
Fase
implantasi yaitu pada umur kehamilan kurang dari 3 minggu. Pada fase ini obat
dapat memberi pengaruh buruk atau mungkin tidak sama sekali. Jika terjadi
pengaruh buruk biasanya menyebabkan kematian embrio atau berakhirnya kehamilan
(abortus).
2.
Fase
embrional atau organogenesis, yaitu pada umur kehamilan antara 4-8 minggu. Pada
fase ini terjadi diferensiasi pertumbuhan untuk pembentukan organ-organ tubuh,
sehingga merupakan fase yang paling peka untuk terjadinya malformasi anatomik
(pengaruh teratogenik). Selama embriogenesis kerusakan bergantung pada saat
kerusakan terjadi, karena selama waktu itu organ-organ itu dibentuk dan
blastula mengalami diferensiasi pada waktu berbeda-beda. Jika blastula yang
dipengaruhi masih belum berdeferensiasi dan kerusakan tidak letal maka terdapat
kemungkinan untuk restitutio ad integrum. Sebaliknya jika bahan yang merugikan
mencapai blastula yang sedang dalam fase deferensiasi maka terjadi cacat
(pembentukan salah) berbagai pengaruh buruk yang terjadi antara lain : Gangguan
fungsional atau metabolic yang permanen yang biasanya baru muncul kemudian,
jadi tidak timbul secara langsung pada saat kehamilan, pengaruh letal berupa
kematian janin atau terjadinya abortus, pengaruh subletal : tidak terjadi
kematian janin tetapi terjadi malformasi anatomik (struktur) pertumbuhan organ
atau pengaruh teratogenik. Kata teratogenik sendiri berasal dari bahasa yunani
yang berarti monster.
3.
Fase
fetal yaitu pada trimester kedua dan ketiga kehamilan. Dalam fase ini terjadi
maturasi dan pertumbuhan lebih lanjut dari janin. Pengaruh buruk senyawa asing
bagi janin dalam fase ini dapat berupa gangguan pertumbuhan baik terhadap
fungsi-fungsi fisiologik atau biokimiawi organ-organ. Keluhan nyeri selama masa
kehamilan umum dijumpai. Hal ini berkaitan dengan masalah fisiologis dari si
ibu karena adanya tarikan otot-otot dan sendi karena kehamilan maupun
sebab-sebab yang lain. Untuk nyeri yang tidak berkaitan dengan proses radang,
pemberian obat pengurang nyeri biasanya dilakukan dalam jangka waktu relatife
pendek. Untuk nyeri yang berkaitan dengan proses radang, umumnya diperlukan
pengobatan dalam waktu tertentu. Penilaian yang seksama terhadap pereda nyeri
perlu dilakukan agar dapat ditentukan pilihan jenis obat yang paling tepat.
Pemakaian
NSAID (Non steroid anti infamantory drug) sebaiknya dihindari pada TM III.
Obat-obat tersebut menghambat sintesis prostaglandin dan ketika diberikan pada
wanita hamil dapat menyebabkan penutupan ductus arteriosus, gangguan pembentukan
ginjal janin, menghambat agregasi trombosit dan tertundanya persalinan dan
kelahiran. Pengobatan NSAID selama trimester akhir kehamilan diberikan sesuai
dengan indikasi. Selama beberapa hari sebelum hari perkiraan lahir, obat-obat ini sebaiknya dihindari. Yang termasuk
golongan ini adalah diklofenac, diffunisal, ibuprofen, indomethasin,
ketoprofen, ketorolac, asam mafenamet, nabumeton, naproxen, phenylbutazon,
piroksikam, sodium salisilat, sulindac, tenoksikam, asam tioprofenic mempunyai
mekanisme lazim untuk menghambat sintesa prostaglandin yang terlibat dalam
induksi proses melahirkan, NSAID dapat memperpanjang masa kehamilan.
F.
STUDI KASUS PENGGUNAAN
ANALGETIK DAN ANTIPIRETIK PADA ANAK DAN IBU HAMIL
a)
pada
ibu hamil misalnya ibu mengkonsumsi paracetamol.
Paracetamol
merupakan analgesik-antipiretik dan anti-inflamasi non-steroid (AINS) yang
memiliki efek analgetik (menghilangkan rasa nyeri), antipiretik (menurunkan
demam), dan anti-inflamasi (mengurangi proses peradangan). Paracetamol paling
aman jika diberikan selama kehamilan. Paracetamol dalam dosis tinggi dan jangka
waktu pemberian yang lama bisa menyebabkan toksisitas atau keracunan pada
ginjal. Sehingga dikategorikan sebagai analgetik-antipiretik. Golongan
analgetik-antipiretik adalah golongan analgetik ringan. Paracetamol merupakan
contoh obat dalam golongan ini. Bebrapa macam merk dagang, contohnya
paracetamol (obat penurun panas atau penghilang nyeri) bisa diperdagangkan
dengan merk bodrex, panadol, paramex.
b) Ibu hamil mengkonsumsi
antalgin.
Antalgin
adalah salah satu obat penghilang rasa sakit (analgetik) turunan NSAID, atau
Non-SteroidalAnti inflammatory Drugs. Antalgin lebih banyak bersifat analgetik.
Pemakaiannya dihindari saat hamil TM I dan 6 minngu terakhir.
c)
Analgesik
opiate.
Pemakaian
obat-obatan analgetika narkotik pada kelahiran kemungkinan dapat menyebabkan
terjadinya depresi respirasi pada janin yang manifest sebagai asfiksia pada
waktu lahir. Namun demikian ternyata berdasar penelitin, morfin sendiri tanpa
disertai dengan faktor-faktor pendorong lain, baik yang berasal dari ibu atau
janin, tidak secara langsung menyebabkan asfiksia. Tetapi hal ini bukan berarti
bahwa obat-obat opiate dapat dipakai begitu saja. Dalam proses kelahiran.
Risiko terjadinya depresi kardiorespirasi harus selalu diperhitungkan pada
pemakaian obat-obat analgetika narkotik pada kelahiran.
Kemungkinan
lain juga dapat terjadi bradikardi pada neonatus. Petidin merupakan analgetika
narkotika yang dianggap paling aman untuk pemakaian selama proses persalinan
(obstetric-analgesics). Tetapi kenyataannya bayi-bayi yang lahir dari ibu yang
mendapatkan petidin selama proses kelahiran menunjukkan skala neuropsikologik
lebih rendah dibanding bayi-bayi yang ibunya tidak mendapatkan obat apapun atau
yang mendapatkan anestesi lokal. Sehingga karena alasan ini maka pemakaian
petidin pada persalinan hanya dibenarkan apabila anastesi epidural memang tidak
memungkinkan.
Pemakaian
analgetika narkotik selama kehamilan atau persalinan dapat mengurangi
kontraktilitas uterus sehingga memperlambat proses kelahiran. Terhadap ibu,
karena depresi fungsi otot polos dapat terjadi penurunan motilitas usus dan
stasis lambung dengan segala konsekuensinya. Penyalahgunaan obat-obat
analgetika narkotik oleh ibu hamil dapat menyebabkan ketergantungan pada janin
dalam kandungan. Hal ini akan manifest dengan munculnya gejala-gejala withdrawl
pada bayi yang baru lahir. Gejala-gejala tersebut meliputi muntah, diare,
tremor, mudah terangsang sampai kejang.
d)
Ibu
hamil mengkonsumsi aspirin.
Aspirin
menghambat sintesis prostaglandin, ketika diberikan kepada wanita hamil dapat
menyebabkan penutupan prematur ductus arteriosus janin, persalinan dan
kelahiran tertunda, meningkatkan waktu perdarahan pada janin maupun ibu karena
efek anti plateletnya. Penggunaan aspirin yang kronik diawal kehamilan
berhubungan dengan anemia pada wanita hamil. Aspirin terbukti menimbulkan
gangguan proses tumbuh kembang janin. Selain itu, aspirin memicu komplikasi
selama kehamilan. Bahkan, kandungan aspirin masih ditemukan dalam ASI. Tubuh
bayi akan menerima 4-8% dosis aspirin yang dikonsumsi oleh ibu. Penelitian
mengatakan bahwa bayi memilih ASI dari ibu yang mengkonsumsi aspirin berisiko
untuk menderita Reye’s syndrome yang merupakan suatu penyakit gangguan fungsi
otak dan hati. Karenanya, hindari pemakaian aspirin, terutama selama trimester
ketiga.
e)
Ibu
hamil mengkonsumsi ibuprofen.
Ibuprofen
merupakan derivat asam propionat yang diperkenalkan banyak negara. Obat ini
bersifat analgesik dengan daya antiinflamasi yang tidak terlalu kuat. Efek
analgesiknya sama dengan aspirin, ibuprofen tidak dianjurkan diminum oleh
wanita hamil dan menyusui.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Kesimpulan
antipiretik adalah obat yang menurunkan suhu tubuh yang tinggi. Jadi
analgetik-antipiretik adalah obat yang mengurangi rasa nyeri dan serentak
menurunkan suhu tubuh yang tinggi, penggunaan obat analgetik-antipiretik pada
saat mengandung bagi ibu hamil harus diperhatikan. Ibu hamil yang mengkonsumsi
obat secara sembarangan dapat menyebabkan cacat pada janin. Sebagian obat yang
diminum oleh ibu hamil dapat menembus plasenta sampai masuk kedalam sirkulasi
janin, sehingga kadarnya dalam sirkulasi bayi hampir sama dengan kadar dalam
darah ibu yang dalam beberapa situasi akan membahayakan bayi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar